Jember (zonamerdeka.com) Hajatan “Safari Literasi Nasional” yang dihelat oleh UPT Perpustakaan Universitas Jember bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional menghadirkan pembicara penulis sekaligus Duta Baca Indonesia, Gol A Gong. Ternyata penampilan penulis yang kehilangan tangan kirinya semenjak SD ini banyak menginspirasi peserta yang hadir di auditorium Universitas Jember (5/2).
Tak sedikit pula yang mengorek resep Gol A Gong hingga jadi penulis yang sangat produktif. Salah satunya ditunjukkan oleh Rayya Sri Sadana, bocah kelas lima SD ini dengan lugunya meminta Gol A Gong bercerita mengenai kisahnya bagaimana hingga kehilangan tangan kiri, namun tetap bisa berkarya.
“Bermula pada 5 Oktober 1974, saat itu ada peringatan Hari ABRI di alun-alun kota Serang, dan atraksinya terjun payung. Sebagai anak kampung saya dan kawan-kawan takjub melihat keberanian pasukan yang terjun dari ketinggian beribu meter dari pesawat. Kami pun lantas berusaha meniru mereka. Caranya dengan membuat senapan dari batang daun pisang dan bermain perang-perangan. Lantas timbul pertanyaan siapa yang bakal jadi komandan? Akhirnya kami sepakat siapa yang berani terjun dari pohon bakal diangkat jadi komandan,” tutur Gol A Gong memulai ceritanya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Penerjunan Gol A Gong kecil dari pohon membuat tangannya terluka. “Sakit sekali sampai saya menjerit-jerit hingga kawan-kawan berlari ke rumah untuk memberitahu Bapak saya. Heri jatuh, teriak mereka !”. Heri Hendrayana Harris adalah nama asli Gol a Gong. Saran tetangga agar membawanya ke dukun urut dituruti oleh kedua orang tuanya. Sayang, bukannya sembuh kondisi tangan kiri Gol A Gong makin memburuk. Upaya membawanya ke sebuah rumah sakit di Jakarta tak membuahkan hasil, dokter pun memutuskan mengamputasi tangan kiri Gol A Gong. “Begitu siuman saya kaget dan berteriak ke Emak, kenapa tanganku buntung ? Apa bisa tumbuh tangan lagi?”
Emak dan Bapak dengan penuh kasih sayang menghibur Gol A Gong dengan mengatakan bahwa tangan kirinya bakal tumbuh lagi. Maka setiap hari dirinya bertanya kapan tangannya kembali pulih. “Hingga saya bosan bertanya,” kata Gol A Gong sambil ketawa mengingat masa kecilnya. Untungnya keluarga penulis yang sudah menelurkan 300 buku ini sangat mendukung tumbuh kembangnya. Orang tua, kakak dan adiknya selalu mendukungnya hingga tak pernah selintas pun rasa minder hinggap di hatinya. Bahkan seabrek prestasi diraihnya seperti menjadi juara pertama ASIAN Para Games di Kobe Jepang tahun 1990 untuk nomor bulutangkis ganda putra .
“Bapak mengajak saya untuk rutin berolah raga, sering mendongeng sambil memberikan saya banyak bahan bacaan. Bapak dan Emak tak mau saya terus sedih karena kehilangan tangan kiri. Mereka berpesan nanti suatu saat tanganmu pasti kembali seperti dulu. Setelah jadi penulis, baru saya sadar jika apa yang mereka doakan ternyata benar. Memang tangan kiri saya sudah tak mungkin kembali tapi saya bisa menjangkau banyak hal dengan tulisan-tulisan saya seakan memiliki tangan lagi,” ujar penulis yang sudah melanglang buana ke 20 negara ini. Gol A Gong juga mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah Dunia ini. Rumah Dunia, artinya menghadirkan dunia ke rumah, tentu saja melalui membaca buku.
Keberanian dan keluguan Rayya Sri Sadana yang ternyata aktif di TBM Rimba Ambulu mendapatkan apresiasi dari Gol A Gong yang kemudian menghadiahkan buku karangannya kepada bocah yang gemar menggambar komik ini. Sebaliknya, Rayya memberikan gambar Gol A Gong yang tengah menaiki pohon kepada penulis idolanya itu. “Semoga Rayya nanti menjadi penulis komik jagoan di Indonesia,” begitu doa Gol A Gong menanggapi Rayya yang ternyata tahu jika dirinya pernah membuat komik juga.
Penanya selanjutnya adalah Fadhillah, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jember. Mahasiswi ini bertanya bagaimana resep menulis yang baik tanpa harus meniru penulis lainnya atau penulis idola ? Menjawab pertanyaan ini Gol A Gong menyarankan Fadhillah agar mulai menulis saja, bahkan jika hanya menulis buku harian. Menurutnya pembentukan jati diri penulis bisa dilatih misalnya dengan memasukkan unsur lokalitas di sekitar kita.
“Coba jika Anda menulis cerpen maka masukkan informasi mengenai geografis Jember, bagaimana kondisi sosiologi masyarakatnya atau bahkan kulinernya. Maka Anda akan mendapatkan cerita yang berbeda dengan orang lain. Jangan lupa untuk melakukan riset, sebab menulis fiksi pun tak ubahnya menulis skripsi yang memerlukan riset. Bedanya, hasil riset tersebut kita padukan dengan imajinasi kita,” jawab Gol A Gong yang baru saja merilis buku terbarunya berjudul “Gong Smash. Dari Raket Ke Pena, Dari Lapangan Ke Petualangan” yang merupakan otobiografinya. (iim)