Zonamerdeka.com -- Sungguh sangat disayangkan, adanya pernyataan yang dilontarkan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP), pada bulan Januari lalu, bersama Komisi III DPR RI, karena justru malah memicu polemik di masyarakat. Seperti dilansir dari Antaranews.com
Burhanuddin mengungkapkan untuk kasus korupsi di bawah Rp50 juta atau bagi koruptor kecil, bisa diselesaikan melalui pengembalian kerugian keuangan negara, dan tidak perlu menjalani hukuman pidana berupa pemenjaraan, namun, pengembalian kerugian keuangan negara itu hanya untuk kasus dengan kerugian negara kecil, yang tidak dilakukan berulang-ulang, ungkapnya.
Namun, pernyataan tersebut justru memicu polemik di tengah masyarakat, seperti dalam diskursus yang membahas tentang hal itu, dikarenakan akan banyak para tikus berdasi yang bebas menggerogoti uang rakyat dalam nominal yang kecil.
Seperti disampaikan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, dengan adanya pernyataan tersebut dikhawatirkan akan ada peningkatan kasus korupsi apabila terjadi pengecualian bagi koruptor kelas teri/ kelas kecil.
Selain itu, hal senada juga disampaikan oleh Iftitah Sari Peneliti Institute for Criminal Juctice Reform (ICJR), pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya bagi pelaku tindak pidana korupsi, sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Meskipun pengembalian kerugian keuangan negara tersebut bertujuan mewujudkan prlaksanaan proses hukum yang cepat, sederhana, biaya ringan, dan langkah penghapusan pidana bagi para koruptor kelas teri ini tetap kurang tepat.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Agung Febrie Adriansyah menerangkan, jika salah satu bentuk keadilan restoratif yang sedang digadang-gadang oleh Kejaksaan Agung adalah penghapusan pemidanaan pelaku korupsi di bawah Rp50 juta.
Namun, pemberlakuan peraturan Kejaksaan Agung tersebut masih dibatasi, apalagi jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil, mengingat tujuan yang hendak dicapai melalui keadilan restoratif, untuk menghadirkan kemanfaatan besar bagi masyarakat, agar kedepannya bisa memberlakukannya keadilan restoratif secara menyeluruh di tiap lapisan masyrakat, termasuk perkara tindak pidana korupsi.
Dikatakan, dalam penaganan perkara tindak pidana korupsi, keadilan restoratif sangat cocok, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang tindak pidana korupasi. Apalagi Kejaksaan Agung banyak menangani tindak pidana korupsi kepada para koruptor, yang hanya mengambalikan kerugian uang negara. Dikarenakan besarnya tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh negara dalam melakukan penindakan hukum terhadap pelaku.
Jangan sampai negara justru mengalami kerugian hanya demi mendapatkan kembali uang negara yang disalahgunakan oleh para koruptor, hanya untuk menindak hukum kepada koruptor kelas ikan teri tersebut. Fenomena ini menunjukkan lebih besar pasak daripada tiang ketika negara menangani tindak pidana korupsi yang nilai kerugiannnya lebih kecil.
Febrie juga menjelaskan, jika Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia selama ini cenderung menggunakan pendekatan keadilan retributif, menurutnya, Undang-Undang kurang optimal dalam pengenbalian kerugian keuangan nagara.
Dalam mengangkat keadilan restoratif perkara tindak pidana korupsi, Kejaksaan Agung ingin fokus memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, sedang dalam Undang-Undang pasal 4 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, disitu malah menghambat para koruptor dalam pengembalian kerugian keuangan negara, bukan malah mempercepat, sehingga butuh langkah-langkah progresif dalam penanganannya.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, dapat dituntaskan dengan keadilan restoratif, dan tentunya Kejaksaan Agung sudah mempertimbangkan sebelum menentukan sanksi administratif atau sanksi pidana yang akan berlaku, seperti halnya korupsi dibawah Rp50 juta yang cenderung memiliki dampak besar di masyarakat sekitar.
Selain itu, Febrie juga menjelaskan enam langkah progresif yang dapat dilakukan.
1. Menerapkan keadilan restoratif dalam menangani tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian yang kecil, karena biaya penanganan kasus yang sangat tinggi, sehingga justru bisa menimbulkan kerugian pada negara.
2. Membuat parameter untuk menentukan klasifikasi tertentu, agar dapat melakukan diskresi penghentian perkara tindak pidana korupsi sehingga dalam implementasinya ada ukuran yang dapat menjadi pedoman kejaksaan.
3. Menentukan dan mencermati area mana saja yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya diskresi, serta mencermati 10 area rawan korupsi yang dipetakan sejak tahun 2012.
4. Menentukan konsep diskresi yang dapat di adopsi Kejaksaan Agung agar pemulihan keuangan negara dapat terakselerasi, namun tetap menimbulkan efek jera bagi pelaku dan masyarakat, sehingga dikemudian hari hal yang sama tidak terjadi kembali.
5. Dibangunnya komunikasi publik, agar dapat meminimalisir perdebatan publik dengan adanya kebijakan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana korupsi, mengingat implementasi keadilan restoratif tidak semata-mata untuk kepentingan hukum, namun juga demi memberikan keadilan dan manfaat yang lebih terhadap negara.
6. Melakukan pengawasan praktik praktik diskresi jaksa agar tidak menyimpang dari tujuan utama, seperti melakukan pengawasan dengan cara membatasi dengan ketat dan menentukan rambu-rambu pelaksanaan yang ada.
Febrie juga menegaskan, diskresi jaksa dalam penghentian perkara tindak pidana korupsi adalah upaya kejaksaan dalam menghadirkan keadilan kepada masyarakat.**
Editor : Noviyanto
Sumber : Antaranews.com