Notification

×

Iklan

Iklan

Hitam Putih Perjalanan Aceh Tamiang, Dalam Metodologi Transportasi Jalan

15 Agustus 2022


 

Jalan Rel Kereta Api -PJKA (Sumber LSM Perlindungan Sejarah dan Sumber Daya Aceh Tamiang)


Aceh Tamiang, zonamerdeka.com - Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatra Utara. Kabupaten ini berada di jalur timur Sumatra yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 km dari Kota Medan sehingga akses serta harga barang di kawasan ini relatif lebih murah daripada daerah Aceh lainnya. Di samping itu, kawasan ini relatif lebih aman semasa GAM berjaya dahulu. Ketika seruan mogok oleh GAM diberlakukan di seluruh Aceh, hanya kawasan ini khususnya Kota Kuala Simpang yang aktivitas ekonominya tetap berjalan. Dua Puluh Tahun Kabupaten Aceh Tamiang sudah berbenah membangun disektor pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan dan semuanya ini dikemas dalam Infrastruktur pembangunan, mulai dari bupati Alm. Abdul Latief di tahun 2002 hingga bupati Mursil 2022.



Jalan MT. Haryono-Bioskop Kencana (Sumber LSM Perlindungan Sejarah dan Sumber Daya Aceh Tamiang)


Jalan Mayjend. Soeprapto (Sumber LSM Perlindungan Sejarah dan Sumber Daya Aceh Tamiang)



Jalan Ahmad Yani (Sumber LSM Perlindungan Sejarah dan Sumber Daya Aceh Tamiang)



Sejarah menjelaskan, dimulai dengan adanya tuntutan pemekaran daerah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang sudah dicetuskan dan diperjuangkan sejak 1957 awal masa Propinsi Aceh ke-II, termasuk eks-Kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom. Usulan tersebut lantas mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil Sidang Umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya. Dalam usulnya mengenai pelaksanaan otonomi secara riil dengan Memorandum Nomor B-7/DPRD-GR/66, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengusulkan sebagai berikut: 


1. Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibu kotanya Kutacane.


2. Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi Kabupaten Djeumpa dengan ibu kotanya Bireun.


3. Tujuh kecamatan dari bekas Kawedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibu kotanya Blang Pidie.


4. Bekas Daerah "Kewedanaan Tamiang" menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibu kotanya Kualasimpang.


5. Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan ibu kotanya Singkil.


6. Bekas daerah Kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan ibu kotanya Sinabang.


7. Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.


Sebagian besar usulan tersebut sudah menjadi kenyataan namun usulan mengenai Tamiang belum dikabulkan. Sebagai tindak lanjut dari cita-cita masyarakat Tamiang, maka pada era reformasi, sesuai Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka keinginan Tamiang untuk menjadi daerah otonomi terbuka kembali dan mendapat dukungan melalui: 


1. Bupati Aceh Timur dengan surat No. 2557/138/tanggal 23 Maret 2000 ke DPRD Kabupaten Aceh Timur tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah-III Kuala Simpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang.


2. DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086/100-A/2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.


3. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032/138 tanggal 4 Mei 2000 kepada Gubernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.


4. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138/9801 tanggal 8 Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.


5. Surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378/8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.


6. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135/1764 tanggal 29 Januari 2001 kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD tentang usul peningkatan status Daerah Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi Daerah Otonom.


Kota Kualasimpang yang dibangun pada masa Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1930, maju dengan pesat di sektor perdagangannya. Sebagai pusat perdagangan yang dikenal pada saat itu Perkebunan Sawit dan Ladang Minyak PERMINA [sebutan Pertamina EP Rantau Field-sekarang] dalam wilayah Kewedanan Kualasimpang, Aceh Timur. Bicara tentang transportasi pada zaman Kolonial Hindia Belanda masuk ke Aceh (1873-1874), sesungguhnya juga mengungkapkan perkembangan kota – kota yang ada di wilayah Aceh ini, tatkala menapaki perubahan dari kota tradisional menjadi kota modern. Namun demikian perlu disadari bahwa pengadaan transportasi modern oleh pemerintah kolonial Belanda itu bukanlah satu-satunya sebagai faktor determinat yang menyebabkan perkembangan kota Kualasimpang, melainkan peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia pada umumnya, baik diluar Jawa maupun di pulau Sumatera. Masa keemasan Kolonial Belanda saat itu setelah dilaksanakannya Kultuur Stelsel (1830-1870) dan Opendeur Policy (1871- dstnya).


Faktor eksternalnya ialah pada periode yang sama terjadinya revolusi industri yang di Eropa mencapai klimaksnya pada pertengahan abad XIX. Apabila di Eropa dan Amerika Serikat kejadian itu ditandai dengan proses industrialisasi besar-besaran dengan imperialisme modern sebagai puncak. 


Dalam konteks perkembangan itulah tanah jajahan berfungsi sebagai pasar produk-produk industri, sumber bahan mentah, dan tempat penanaman modal. Dalam kerangka itulah kemudian dilakukan modernisasi di Hindia Belanda sebagai tanah jajahan Belanda, kemudian pihak negeri induk juga melakukan relokasi industri baik secara teknologis, komersial- kapital maupun pemasaran. Dengan demikian Indonesia dalam hal ini Aceh menjadi terlibat langsung dalam proses produksi perjalanan kemajuan dan peradaban dunia.


Sejalan dengan panjangnya rentang waktu perjalanan sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu sejak era prasejarah hingga era sejarah. Maka besar kemungkinan jalan di Indonesia telah ada sejak masa prasejarah atau sejak masyarakat Indonesia belum mengenal baca tulis.  


Menurut hasil penelitian 'Jalan di Indonesia' yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, Jenis jalan yang pertama kali dikenal bangsa Indonesia pada masa prasejarah besar kemungkinan adalah jenis jalan yang kini disebut dengan jalan setapak (footpath). Sang ahli mengartikan jalan setapak sebagai lajur di mana masyarakat dapat berjalan kaki, misalnya melalui lapangan dan hutan. 


Secara konseptual jalan setapak berbeda dengan trotoar (footway). Trotoar merupakan bagian dari sebuah jalan, yang secara khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki, sehingga terpisah dari jalur kendaraan. Trotoar biasanya terdapat di sebelah kanan dan kiri jalan. 


Dalam perkembangannya kemudian, jalan memainkan peran yang semakin penting sejalan dengan perkembangan kebudayaan mayarakat Indonesia pada saat memasuki sejarah. Jalan yang semula hanya berfungsi sebagai tempat perlintasan orang, kemudian berfungsi pula sebagai tempat perlintasan kendaraan. Kemudian juga, mulai kendaraan yang ditarik dengan tenaga hewan hingga kendaraan yang menggunakan tenaga mesin. 


Perkembangan fungsi jalan sebagai tempat perlintasan kendaraan ini bergerak secara evolusioner sejak masa Hindu Budha, Islam, hingga penetrasi kolonial. Cukup banyak jalan yang kemudian dibangun semasa pemerintahan Hindia Belanda atau sejak awal abad ke-19 hingga tahun 1942. Jalan yang dibangun dalam abad ke-19 dan abad ke-20, tidak hanya dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga dibangun oleh para penguasa pribumi, khususnya para bupati. Semasa Hindia Belanda pula, fungsi jalan merupakan penggerak roda perekonomian agar semakin menguat.  


Perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia yang semakin maju dari waktu ke waktu menjadikan jalan memainkan peran yang semakin penting di era kemerdekaan. Penting dan strategisnya makna keberadaan jalan di era kemerdekaan secara eksplisit terlihat dari pembangunan jalan yang tidak pernah henti di era kemerdekaan, khususnya sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga era pemerintahan Presiden Joko Widodo.


Bersambung….. 


(Muhammad Thoyib, ST)





ikuti zonamerdeka.com di Google News

klik disini


close