Minggu 16 Mar 2025

Notification

×
Minggu, 16 Mar 2025

Iklan

Iklan

Jas Almamater Mahasiswa Baru: Problematika di Kampus Kerakyatan

10 Agustus 2022

 


zonamerdeka.com, Gorontalo - Setelah dua tahun penerimaan mahasiswa baru secara online, UNG akhirnya melaksanakannya secara luring (tatap muka). Kegiatan tersebut, kali ini, diberi nama PKKMB (pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru). Pada tahun ini, PKKMB dilaksanakan selama lima hari. Dua hari pertama untuk universitas, hari ketiga untuk BEM, hari keempat untuk fakultas, hari terakhir untuk jurusan.






 


Tapi, pada pelaksanaan tahun ini, ada peristiwa kecil yang cukup menarik: masalah yang muncul di permukaan terkait dengan ketentuan yang diberlakukan oleh UNG dalam pelaksanaan PKKMB tersebut, yaitu wajib menggunakan jas almamater pada hari pertama PKKMB.


Saya pribadi tahu, bahwa itu baru berupa isu. Tentu saja haram hukumnya untuk langsung percaya. Tapi saya juga meyakini bahwa isu tersebut tidak lahir dari ruang kosong. Pasti ada sesuatu yang memantiknya.


Berdasarkan isu tersebut, kebijakan untuk mewajibkan peserta PKKMB memakai jas almamater, membuat sebagian mahasiswa baru mendapati kendala. Di antaranya, mereka kesulitan untuk mendapatkan almamater, mungkin karena kekurangan uang. Yang lebih mencengangkan adalah adanya hukuman bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan itu.


Karena penasaran dengan hukumannya, saya langsung mencari surat edaran tentang PKKMB. Ternyata setelah dibaca, tidak tertera hukuman jenis apa pun yang akan diterapkan. Mungkin saja, dari kata “wajib” itu orang mengartikan: kalau tidak diindahkan maka akan ada sanksi.


Kalau kita membaca surat edaran tentang pelaksanaan PKKMB, termuat beberapa ketentuan yang cukup ketat. Selain wajib memakai almamater, diharuskan juga membawa sertifikat vaksin. Ketentuan-ketentuan ini, cukup ambigu karena tidak mengandung penegasan. Misalnya soal vaksinasi, apakah dia wajib atau hanya imbauan


Kalau hanya imbauan, maka ketentuan tersebut tidak memiliki signifikansi lagi. Kalau wajib, maka ia harus berimbang, bahwa ketentuan yang sama juga harus juga harus berlaku pada panitia penyelanggara, entah dari tingkat kampus maupun mahasiswa. Apakah semua panitia juga diwajibkan mengantongi sertifikat vaksin? Atau apakah mereka semua sudah divaksin? Kalau tidak, maka ketentuan itu sangat abu-abu.


Ketentuan-ketentuan yg ambigu itu, membuat melahirkan banyak dugaan-dugaan liar, yang menyebabkan sebagian mahasiswa baru menjadi panik. Dan bagi kita yg pernah menjadi maba, pasti tahu bagimana ribetnya mengurus segala tetek-bengek PKKBM, apalagi harus dihadapkan dengan ketentuan yang ambigu, lengkap dengan isu liar mengenainya


Lebih jauh, ada pada soal almamater, ada masalah tersembunyi yang mesti diurai, yang bagi saya, menjadi salah satu pemicu drama yang sudah terlanjur terjadi ini, yaitu soal kebijakan kampus yang terkesan kontradiksi soal pengadaan almamater. Kita tahu bahwa pengadaan almamater telah diberikan wewenang kepada ormawa dalam hal ini senat fakultas.


Mereka diberikan kewenangan untuk bagaimana menyalurkan almamater kepada mahasiswa melalui sistem jual-beli. Mahasiswa baru bebas mau beli di mana saja, tidak beli juga tida apa-apa. Kesannya, ini murni sistem pasar dan ormawa menjelma seperti pebisnis. Lagi pula cara ini tidak menjamin semua mahasiswa mendapatkan almamater. Lantas, bila kedapatan ada yg tidak memenuhi ketentuan, apakah akan ada hukuman?


Di sisi lain, kita dikagetkan dengan kebijakan kampus yang berbanding terbalik, yaitu adanya pemotongan bantuan KIP mahasiswa baru oleh pihak kampus untuk almamater sebesar Rp150.000. Kebijakan tersebut, jelas berbanding terbalik dengan kebijakan yang pertama, yaitu pemberian wewenang proyek pengadaan almamater kepada ormawa. Harusnya kalau mau konsisten dengan kebijakan awal, kampus tidak perlu adakan pemotongan terhadap KIP. Biarkan saja maba yang beli sendiri, atau supaya merakyat, penerima KIP harus diberi diskon.


Yang lebih menariknya, bahwa dalam Peraturan Sekretaris Jenderal (Persesjen) Kemendikbudristek Nomor 10 Tahun 2022 yang baru saja diterbitkan, KIP tidak mencakup semua kebutuhan mahasiswa. Dalam ketentuan tersebut, setidaknya ada 6 daftar biaya yang tidak ter-cover di KIP, salah satunya adalah jas almamater.


Dalam aturan tersebut, mengisyaratkan bahwa perguruan tinggi, LLDIKTI, pemangku kepentingan atau pihak lain tidak boleh memanfaatkan, menggunakan, atau memotong biaya hidup penerima Program KIP Kuliah, baik melalui buku rekening tabungan atau ATM. Ketika ada pelanggaran, harusnya segera diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Kebijakan model ganda seperti inilah yang melahirkan drama. Karena orang menilai ada yang tidak konsisten. Dibuat seolah-olah soal almamater sudah diserahkan ke ormawa, tapi mengapa kampus masih mengambil alih soal itu melalui jalur mahasiswa peserta KIP? Ini jelas melahirkan kecurigaan dan spekulasi liar. Apalagi ini melanggar ketentuan yang berlaku.


Sebenarnya, kebijakan ini tidak akan menjadi masalah bila mahasiswa tidak diwajibkan dengan bayang-bayang hukuman, untuk memakai almamater pada saat PKKMB. Boleh saja diwajibkan, tapi harus didukung dengan kebijakan yang benar-benar tertata rapi dan konsisten, misalnya melalui kebijakan satu pintu yang menjamin semua mahasiswa mendapatkan almamater secara serentak.


Terlepas dari itu, drama yang menyimpulkan kampus menjadi kapitalis, ini disebabkan oleh model kebijakan kampus. Sebab, bagaimanapun, orang akan fokus pada mengapa harus diwajibkan, dan mengapa harus ada pemotongan bantuan KIP. Sebab, korelasi antara keduanya, akan melahirkan kecurigaan liar. Baru-baru ini, sudah ada buktinya: kampus disebut kapitalis, hanya mencari keuntungan.





ikuti zonamerdeka.com di Google News

klik disini


close