Oleh:
Epifianus Faot
Papua resmi dimekarkan menjadi empat Provinsi. Undang-Undang yang mengatur tiga provinsi tersebut disahkan oleh DPR RI pada tanggal 30 Juni 2022 dan ditetapkan pada tanggal 25 Juli 2022. Dalam proses pemekaran, indikator kinerja pembangunan daerah harus menjadi pertimbangan untuk keberhasilan pemekaran. Pertimbangan ekonomi diperlukan agar pemerintah daerah dapat melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan.
Tujuan dari pemekaran adalah memperpendek rentang kendali antara pengambil kebijakan dan masyarakat serta menciptakan pemerataan pembangunan bukan bagi-bagi kekuasaan dan menafikan kebutuhan rakyat. Pembentukan provinsi-provinsi baru ini dimungkinkan oleh adanya perubahan pengaturan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021, Pasal 76 ayat (2), yang berbunyi “ … Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.”
Indonesia merupakan salah satu negara yang menduduki posisi strategis dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia serta laju deforestasi terbesar kedua di dunia, yang dialihfungsikan salah satunya sebagai perkebunan sawit. Berdasarkan data Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTL KLHK), Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi sebesar 75,03 persen pada periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu hektare. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu hektare, atau pada periode 2014-2015 (1,09 juta hektare).
Narasi mengenai krisis perubahan iklim tidak hanya mendominasi tajuk-tajuk berita utama di media, tetapi juga mengubah peta pengaturan sumberdaya alam global, terutama hutan tropis di negara berkembang. Hal ini didasari oleh kajian saintifik yang menyebutkan bahwa angka deforestasi hutan tropis mencapai level yang mengancam kehidupan manusia (Houghton 2003, 2005; FAO 2006; Corbera dan Schroeder 2011). Kohl et al. (2009) dalam artikelnya menggambarkan bagaimana pengetahuan saintifik dimobilisasi oleh institusi-institusi transnasional seperti International Panel for Climate Change (IPCC) untuk mengembangkan inisiatif internasional guna menahan laju deforestasi dan degradasi hutan yang kian berkembang. Salah satu inisatif tersebut dikenal sebagai Reducing Emission for Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+). REDD+ berbasis pada gagasan bahwa negara-negara berkembang akan dibayar untuk meningkatkan stok karbon dengan melakukan konservasi hutan mereka melalui berbagai kebijakan dan pengukuran kinerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat penurunan signifikan deforestasi hutan di Indonesia pada periode 2015-2020, yaitu deforestasi sebesar 629,2 ribu hektare pada periode 2015-2016, menjadi 480 ribu hektare (periode 2016-2017), lalu 439,4 ribu hektare (periode 2017-2018), terus 462,5 ribu hektare (periode 2018-2019) dan 115,5 ribu hektare (periode 2019-2020). Pada COP-26, Indonesia berjanji menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) setelah 2030 sekaligus mengakhiri deforestasi hutan.
Merujuk pada data dari University of Maryland yang dirilis oleh Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki hutan primer seluas 93,8 juta hektare pada 2001. Jika dikalkulasi, jumlah luasannya melebihi separuh luas daratan. Sepanjang periode 2002-2020, negara kita telah kehilangan sekitar 9,75 juta hektare hutan primer atau 36 persen lahan tutupan pohon pada periode itu. Tentu banyak hal yang menjadi penyebab tergerusnya hutan primer itu, misalnya kebakaran hutan (disengaja/tidak), perluasan lahan sawit, perluasan lahan pertanian masyarakat pinggiran hutan, dan eksplorasi lahan pertambangan.
Tahun 2021, enam tahun setelah Paris Agreement diratifikasi oleh 194 negara atau setelah lima kali penyelenggaraan Conference of the Parties (COP) Paris, maka pada akhirnya para pihak berhasil menyelesaikan Paris rulebook for implementation dalam COP-26 tahun lalu di Glasgow. Hal ini berarti bahwa COP-27 yang akan digelar mulai tanggal 7 sampai dengan 18 November 2022 di Syarm el-Sheikh, Mesir menandai berakhirnya masa transisi kesepakatan Paris dan dimulainya aksi nyata untuk melaksanakan kesepakatan sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam Paris rulebook. Wakil Presiden RI yang mewakili Indonesia dalam COP-27 dalam pidatonya menyampaikan tiga hal, yakni: Pertama, dalam COP-27 ini harus dimanfaatkan untuk implementasi dari kesepakatan-kesepakatan terdahulu. Kedua, Wakil Presiden menekankan soal semua negara harus menjadi bagian solusi dan bisa berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing. “Dengan semangat, burden sharing (pembagian beban), bukan burden shifting (pemindahan beban). Negara yang lebih maju dan lebih mampu harus memberdayakan negara lainnya”. Wakil Presiden menyebutkan kalau Indonesia sudah menaikkan niatan kontribusi penurunan emisi (nationally determined contributions/NDC) menjadi 31,8% dengan kekuatan sendiri atau 43, 20% kalau ada bantuan internasional. Sebelumnya, komitmen penurunan emisi Indonesia, 29% dan 41% dalam 2030.
Berdasarkan Data Climate Action Tracker (CAT) per November 2022, Indonesia termasuk satu dari 25 negara yang memperbaharui NDC tetapi tidak termasuk dari empat negara dengan kategori NDC target yang kuat. Indonesia seharusnya menguatkan target pengurangan emisi sektoral secara proporsional dengan tidak membebankan kontribusi pengurangan emisi hingga 60%pada sektor kehutanan.
Akan tetapi hambatan saat ini adalah dampak konflik antara Rusia vs Ukraina, sehingga terjadi krisis energi, krisis pangan dan krisis ekonomi. Invasi Rusia ke Ukraina telah mengganggu rantai pasok global yang telah menambah parahnya krisis pasca pandemi sehingga transisi menuju pembangunan rendah emisi akan melambat dalam perjalanannya dan tidak sejalan dengan apa yang ingin dicapai dalam Persetujuan Paris. Selain itu, ada pula proyek strategis nasional yang banyak merenggut ruang hidup masyarakat. Pemerintah mencanangkan proyek strategis nasional (PSN) di berbagai daerah seperti PLTU batubara, waduk, jalan tol, food estate, geothermal, kawasan industri sampai proyek ibu kota negara (IKN). Dampak lingkungan terhadap proyek-proyek itu sudah menimpah masyarakat, seperti sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, tanah pertanian rusak, ikan-ikan mati, hutan-hutan rusak, dan areal tangkapan nelayan menyempit.
Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi tercatat sebanyak 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, terdapat lebih dari 2.000 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian akibat bencana geologi.
Kemudahan Regulasi Pendorong Deforestasi
Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total sebaran luas hutan adat di Indonesia adalah 77.986 hektare (tidak termasuk Provinsi Papua). Padahal, sudah 14 tahun ditetapkan Peraturan Daerah Khusus (perdasus) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Papua. Namun, hingga provinsi Papua dimekarkan menjadi empat tidak ada sejengkalpun hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK. Berbeda dengan Provinsi Papua Barat, yang baru mengesahkan Perdasus serupa pada tahun 2019. Alih-alih, wilayah-wilayah adat di Papua dibagikan kepada korporasi perusak lingkungan dengan alasan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ada beberapa regulasi yang telah disiapkan oleh pemerintah pusat untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahun 2020-2024, diantaranya: Pasal 84 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 memperbolehkan pelepasan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Persoalan lainnya adalah pengembangan proyek strategis nasional dapat menggunakan kawasan hutan kendati di suatu provinsi berstatus kekurangan. Artinya, luas kawasan hutan yang ada di daerah tersebut tidak mampu menjadi penopang daya dukung lingkungan, daerah aliran sungai, maupun keaneragaman hayati.
Dalam PP Nomor 23 Tahun 2021, pemerintah mengatur kebijakan penanganan tumpang tindih kawasan hutan dengan lahan proyek strategis nasional memperbolehkan pengurangan luas izin kehutanan jika tumpang tindih dengan izin perkebunan yang berstatus strategis. Berdasarkan Pasal 94 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2021 pengembangan proyek juga dibebaskan dari kewajiban menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi. Keistimewaan lainnya yang diperoleh dari proyek strategis nasional termaktub dalam pasal 10 PP Nomor 43 Tahun 2021. Pasal ini memperbolehkan perizinan dan konsesi PSN dapat dilanjutkan kendati masih ada persoalan kesesuaian rencana tata ruang wilayah dan provinsi belum selesai.
Laju Deforestasi di Tanah Papua
Dalam tataran yang lebih luas, sengaja atau tidak, kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang terfokus pada pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan di luar Jawa, faktanya telah mendorong terjadinya tranformasi struktural perekonomian Indonesia. Tentu saja hal ini sekaligus menjadi sumber kemewahan bagi aktor-aktor tertentu di lingkungan politik dan birokrasi yang ingin melakukan akumulasi kekayaan.
Ada dua alasan yang dapat penulis deskripsikan dalam tulisan ini mengapa pulau-pulau di luar Jawa terus menerus menjadi sasaran dari kebijakan pengembangan lahan di Indonesia. Pertama, pulau-pulau di luar Jawa diyakini memiliki lahan "marginal" atau belum tergarap dalam jumlah besar, dan memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Selain itu, secara formal hak-hak adat atas tanah di wilayah ini juga cenderung tidak diakui, institusi pemerintahan lemah, dan ketentuan-ketentuan legal yang mengatur transaksi tanah tidak berjalan dengan baik. Kedua, penilaian marginal juga diterapkan ketika lahan tersebut memiliki kualitas rendah, terpencil, gersang, miskin infrastruktur. Banyak wilayah-wilayah di luar Jawa yang kaya akan sumberdaya alam, memiliki ciri wilayah "nirkontrol", tidak terkendali. Wilayah-wilayah di mana institusi pemerintahan dan kerangka hukum untuk melindungi penduduk lokal cenderung lemah.
Sistem hukum di Indonesia boleh jadi bermaksud melindungi hak atas tanah pada segenap warga negara, termasuk di dalamnya mereka yang hidup di wilayah-wilayah sasaran akuisisi lahan. Namun, faktanya hak atas tanah acapkali tidak aman dan masih diperebutkan. Kendati deforestasi nasional menurun, namun angka deforestasi tetap tinggi di provinsi-provinsi yang kaya akan hutan di Indonesia.
Selama dua dekade, Papua kehilangan hutan alam hingga 688.438 hektare. Bertambahnya tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua, akankah menjadi akselerator deforestasi? Menarik untuk kita tunggu! Sebab, lebih dari setengah hutan alam berada di tiga provinsi baru: Papua Selatan dengan luas (8.586.602 hektare), Papua Tengah (3.617.874 hektare) dan Papua Pegunungan (5.854.840 hektare). Luasnya mencapai 18 juta hektare dan terancam deforestasi (KLHK, 2020).
Pemekaran tiga provinsi baru di Papua akan meningkatkan pendapatan wilayah yang dimekarkan. Pendapatan terbesar berasal dari sektor pengelolaan lahan, yakni: perkebunan sawit, pertambangan dan usaha di bidang kehutanan. Hal ini karena ketiga provinsi yang baru dimekarkan belum terbentuk kemandirian fiskal sehingga mengandalkan dukungan penuh transfer dana dari pemerintah pusat. Ketiga sektor ini yang akan menjadi sumber pendapatan utama, tetapi juga menjadi sumber masalah bagi hutan di Papua, jika tidak ada kebijakan yang memadai. Bahkan, jauh sebelum pemekaran pun, deforestasi sudah menjadi masalah yang sangat serius di tanah Papua.
Tiga provinsi baru yang telah dimekarkan akan mendapat amanah untuk mengelola setidaknya 2,9 juta hektare izin yang meliputi izin kehutanan, perkebunan (sawit), dan pertambangan. Ketiganya akan menjadi sumber masalah. Pasalnya, kehilangan hutan merupakan potensi bagi peningkatan pendapatan asli daerah, tetapi juga sarat akan masalah bagi masyarakat asli Papua. Hal ini diperkuat dengan adanya regulasi yang paling memberatkan yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 yang memberikan batas penguasaan lahan untuk perkebunan sawit mencapai 100 ribu hektare per provinsi.
Rekomendasi Penulis
Perencanaan pembangunan secara spasial harus mengupayakan pertimbangan, efisiensi, keadilan dan kehati-hatian. Salah satu program strategis nasional yang berpotensi meningkatkan angka deforestasi di Papua ke depan adalah program Food Estate. Hutan alam yang masuk dalam area of interest (AOI) Food Estate di empat provinsi salah satunya di Papua berpotensi mengancam terjadinya deforestasi dan komitmen iklim National Determinated Contribution (NDC) Indonesia luasnya mencapai 1,38 juta hektare. Area alokasi food estate dengan hutan alam mencapai 43 persen dari total luas area of interest food estate secara keseluruhan.
Sekitar 41% atau 642.319 hektare merupakan hutan alam primer yang secara tegas dicantumkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2022-2024 sebagai kendala pembangunan yang harus dijaga. Hampir keseluruhan (99%) hutan alam primer yang tercakup dalam area of interest food estate berada di Papua. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan agar dalam merumuskan kebijakan perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini: Pertama, Setiap keputusan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) harus disertai dengan transparansi data dan pelibatan publik dalam perencanaan Program Strategis Nasional. Kedua, Program Strategis Nasional untuk pemerataan ekonomi: ruang hidup masyarakat dan pemenuhan hak. Ketiga, Penyelesaian konflik: kepastian hukum, kemanfaatan dan kelestarian. Keempat, Pemerintah wajib menerapkan skenario pembangunan dan komitmen iklim di Indonesia.