Awalnya pengelola terbesar perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah belasan perusahaan yang disebut PTPN dan kini menjadi bagian dari badan usaha milik negara (BUMN). Belasan PTPN itu kini menyatu dalam sebuah gabungan usaha yang disebut Holding PTPN.
Kita tahu, kedigdayaan PTPN dimulai pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto. Bahkan kala itu pemerintah melibatkan rakyat untuk pengembangan perkebunan sawit dengan gabungan pola perkebunan inti rakyat dan transmigrasi atau PIR-Trans.
Namun entah bagaimana ceritanya, paruh kedua dekade 1980-an, bermunculan perusahaan sawit swasta nasional. Di tahun 1990-an perusahaan swasta nasional ini menjadi perusahaan raksasa.
Lalu mulai masuk juga pihak asing yang membuka perkebunan sawit dalam skala masif. Mereka, baik perusahaan sawit swasta nasional maupun asing malah kemudian menjadi raksasa dan sepertinya sulit dikendalikan pemerintah.
Nah, bagaimana itu bisa terjadi? Pramono Dwi Susetyo, sosok yang pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengulik kemunculan puluhan perusahaan sawit yang kini menggurita.
Ia menuliskan hal ini dalam artikelnya di laman InfoSawit dengan judul: Di Kala Sektor Sawit Disetir Swasta dan Pemerintah Pemilik Minoritas.

Mari kita simak tulisan beliau (dengan sedikit koreksi tertentu).
Kesalahan terbesar pemerintah dalam membuka perkebunan sawit di Indonesia adalah tidak dikendalikannya luas kebun sawit yang dikuasai oleh pihak swasta.
Bahkan luas perkebunan swasta tidak sebanding dengan luas perkebunan sawit milik rakyat dan pemerintah (BUMN).
Secara legal formal, kebijakan membuka perkebunan sawit bagi pihak korporasi swasta adalah sah-sah saja karena dilindungi oleh undang-undang (UU), yakni UU Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Lalu UU Nomor 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), UU Nomor 12/1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU Nomor 6/1968, UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor11/2020 tentang Cipta Kerja.
Secara ekonomi, pemerintah juga diuntungkan dengan perkebunan sawit yang dikelola swasta karena korporasi sawit ini juga dikenakan kewajiban membayar pajak.
Hal ini terlihat dari saat mengurus pelepasan kawasan hutan menjadi hak guna usaha (HGU) hingga kebun sawit menghasilkan CPO.
Pajak dimaksud berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pelepasan kawasan hutan, pajak bumi dan bangunan (PBB).
PNBP perkebunan awit dalam proses penerbitan HGU, bea ekspor CPO, dan seterusnya. Industri sawit di Indonesia juga dinilai mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 16,2 juta orang.
Dari statistik perekonomian, komoditas sawit berkontribusi 3.5 persen dari produk domestik bruto (PDB), menurunkan inflasi 1,75 persen dan jumlah belanja negara 1,74 persen.
Minyak sawit juga membuat neraca perdagangan positif dan menjadi produk ekspor terbesar nonmigas.
Tahun 2021, nilai ekspor minyak sawit diperkirakan mencapai lebih dari 20 miliar Dollar AS, meningkat 155 persen dibandingkan tahun 2020.
Ekspor ke negara-negara Eropa terus meningkat meskipun ada upaya beberapa negara produsen minyak nabati lainnya yang menolak minyak sawit.
CPO asal ndonesia merupakan komoditas andalan yang lagi naik daun.
Di samping lewat pajak dan PNBP, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga memungut dana pungutan ekspor sawit yang digunakan untuk berbagai program.
Seperti peremajaan sawit rakyat (PSR), pengembangan dan penelitian, sarana dan prasarana (sarpras), promosi dan kemitraan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta biodiesel.
BPDPKS berhasil mengumpulkan total pendapatan sebesar Rp 51 triliun pada periode 2015-2019. Jumlah tersebut berasal dari pungutan ekspor sawit sebesar Rp 47,28 triliun dan pengelolaan dana sebesar Rp 3,7 triliun.
Namun perlu diketahui, perusahaan swasta nasional dan asing kini menjadi begitu dominan. Luas perkebunan sawit mereka mencapai 7,7 juta hektar (ha).
Ini berarti setara dengan 54% dari total luas lahan perkebunan sawit di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2018 total area perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,3 juta ha.
Dari jumlah itu, milik rakyat mencapai 5,8 juta ha atau 41% dari total area. Lalu milik PTPN mencapai 715 ribu ha atau 5%.
Jika dilihat dari kinerja produksi yang dihasilkan, swasta paling banyak memproduksi kelapa sawit sebesar 26,5 juta ton atau 51% minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Selanjutnya perkebunan rakyat menyumbangkan 14 juta ton CPO atau 33%, sedangkan BUMN hanya 6% atau 2,5 juta ton CPO.
Dari 7,7 ha itu, berdasarkan laporan terbaru dari NGO Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk Indonesia) di tahun 2019, disebutkan mayoritas lahan sawit dikuasai hanya oleh 25 konglomerat dengan luas mencapai 5,8 juta ha.
Total luasan lahan milik 25 grup bisnis tersebut sebesar 5,8 juta hektar dan 3,4 juta hektar tertanam, serta 2,4 juta hektar yang belum tertanam.
Telah terjadi akumulasi penguasaan modal yang mengakibatkan penguasaan lahan dalam jumlah yang sangat besar.
Perusahaan yang dimaksud seperti Jardine Matheson Group, DSN Group, Tanjung Lingga Group, Sampoerna Group, Rajawali Group, Sungai Budi Group, Austindo Group, Sinar Mas Group.
Lalu, Wilmar Group, Salim Group, Harita Group, Surya Dumai Group, Kencana Agri Group, IOI Group, Genting Group, Boon Siew Group, Batu Kawal Group.
Anglo-Eastern Group, Musim Mas Group, Royal Golden Eagle Group, Darmex Agro Group, dan Triputra Group.
Ini berarti pemerintah tidak dapat mengatur dan mengendalikan sepenuhnya produksi CPO Indonesia, terutama sepanjang korporasi dan masyarakat pemilik kebun sawit tidak melanggar hukum.
Meskipun dalam regulasi tidak dilarang penguasaan perkebunan sawit oleh swasta, namun paling tidak apabila pemerintah mengatur dari awal pengusaan perkebunan sawit.
Terutama antara BUMN di satu pihak dan swasta/masyarakat di lain pihak secara berimbang dan proporsional, sebut saja fifty-fifty, maka pemerintah akan mampu mengatur dan mengendalikan produksi CPO, melalui kebijakan langsung kepada BUMN.
Lantas bagaimana cara pemerintah untuk mengimbangi penguasaan kebun sawit yang didominasi oleh swasta dan masyarakat?
Salah satu cara adalah mendorong BUMN untuk meningkatkan luasan kebun sawitnya dengan dua cara .
Pertama, menyerahkan penguasaan dan pengelolaan kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan yang tidak dapat diproses menjadi sawit legal setelah dikenakan denda dan sanksi administratif sesuai PP Nomor 23/2021.
Dari 14,3 juta ha, di antaranya adalah perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan seluas 3,1 juta ha.
Dari jumlah itu sekitar 576.983 ha sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya sekitar 1,2-1,7 juta ha terindikasi sebagai perkebunan sawit masyarakat atau perorangan yang tidak dapat dilepaskan karena dasar hukumnya tidak kuat.
Sisa luas kebun sawit 1,2-1,7 juta ha inilah yang sebaiknya diserahkankepada BUMN untuk dikelola dan dikembangkan menjadi kebun sawit yang berkelanjutan.
Kedua, apabila untuk menambah luasan kebun sawit secara ekstensifikasi melalui pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang baru, maka prioritas utama harus diberikan kepada BUMN.
Sementara untuk pihak swasta dihentikan dulu karena kebun sawit yang sudah ada luasan dianggap lebih dari cukup.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, dari 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), 6,5 juta ha di antaranya tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage).
Ini memang disiapkan oleh KLHK untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan, termasuk di dalamnya adalah penambahan luasan kebun sawit melalui program ekstensifikasi. (*)
Penulis : Pramono Dwi Susetyo