Sawahlunto, zonamerdeka.com - Sumbar merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dikenal banyak melahirkan tokoh intelektual yang memainkan peran penting pada masa kolonial Belanda dan era kebangkitan nasional. Tetapi juga dalam masa - masa perjuangan kemerdekaan hingga periode pembangunan NKRI, diantaranya, Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Emil Salim, Abdul Muis , jika dipersempit secara kedaerahan akan terlihat jelas bahwa sebahagian dari tokoh yang disebutkan di atas berasal dari Koto Gadang.
Meskipun demikian, peran kaum perempuan masih kurang terwakili dan minim terekspos kepermukaan sementara banyak dari mereka yang turut berjuang menyuarakan penolakan terhadap kolonialisme dan mendukung peningkatan hak serta harkat dan martabat perempuan Indonesia pada akhir pemerintahan kolonial. Menariknya, salah satu dari tokoh perempuan terkemuka itu juga berasal dari Koto Gadang yaitu Hj. Roehana Koeddoes.
Dia dapat dianggap sebagai Primus Inter Pares di antara kaum perempuan lain seperti Rahmah El-Yunusiah (Padang), Rasuna Said (Meninjau), Siti Manggopoh (Meninjau) dimana dalam kehidupan dan perjuangannya, Roehana tiada hentinya selalu terlibat dalam dunia pendidikan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan guna mendorong peningkatan hak-hak sosial, ekonomi dan politik perempuan pada masanya, di saat hampir 99% kaum perempuan di Tanah Melayu masih buta huruf.
Apakah dia juga diakui atas kontribusinya yang luar biasa terhadap kemandirian nasional ?
"ROEHANA KOEDDOES DARI KOTO GADANG"
Roehana Koeddoes lahir pada tanggal 20 Desember 1884 dari keluarga yang terpandang dan berbakat di Koto Gadang. Roehana adalah kakak sulung dari Sutan Syahrir (Perdana Menteri pertama RI), dan sepupu Agus Salim dan Siti Danilah Salim (adiknya Agus, seorang jurnalis perempuan yang luar biasa dan sangat aktif menulis tentang isyu anti kolonialisme), dan juga bibi dari Chairil Anwar.
Sebagai seorang anak, Roehana sudah menunjukkan minat yang besar untuk belajar dan mengajar anak-anak lain dan dialah wanita pertama yang mendirikan sekolah untuk anak anak perempuan pada tahun 1892.
“Ayah, kawan-kawan ingin ambo mengajari mereka membaca dan menulis. Bagaimana menurut Ayah, bisakah ambo?”, kata Roehana, seorang anak perempuan berusia 8 tahun yang kemudian menjadi guru bagi anak anak sebayanya.
Selain fakta bahwa dia adalah anak yang fenomenal, dia juga berpikiran sangat maju pada zamannya. Roehana bahkan mendahului para tokoh dari kaum hawa di seantero negeri dalam gelombang Gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia yang disuarakan dalam tulisannya diberbagai surat kabar dan majalah daerah seperti ; Jong Sumatra (berdiri 1917), Jong Java (berdiri 1915), Soenting Malajoe (1912) dan lainnya.
Selain dalam surat kabar, majalah dan tabloid perkumpulan yang bersifat kedaerahan, tulisannya bertebaran diberbagai media dan tabloid perkumpulan yang terbit secara nasional, dibaca dan dipelajari oleh kalangan intelektual seperti dalam lingkungan Sekolah Tinggi STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandse Artsen, 1899 - 1927 - Sutan Syahrir dan Proklamator RI, Muhammad Hatta juga bersekolah disini) dan menjadi salah satu koleksi kepustakaan Universitas Leiden, Belanda.
WANITA REVOLUSIONER
"Komitmen Roehana Dalam Bidang Sosial, Ekonomi Dan Pendidikan"
Selain Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Rahmah El-Yunusiah sebagai tokoh kepeloporan Pendidikan di Indonesia, atau Cut Nyak Dhien dan Rasuna Said, Roehana Koeddoes juga melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, namun dari dalam, yang merupakan ciri khas banyak intelektual dari Koto Gadang.
Perjuangan Roehana bersama perempuan Koto Gadang dalam memberikan pencerahan bagi kaum Hawa mendapat respons yang luar biasa. Roehana mewakili suara Anti Kolonialisme terkait dengan peningkatan kedudukan perempuan melalui pendidikan. Dalam pergerakannya, Ia aktif menjalin kerja sama dengan dunia pendidikan Belanda dan para intelektual perempuan Belanda sehingga melalui ilmu yang didapatkan, ia tidak hanya dapat mendorong peningkatan kemajuan bagi perempuan Indonesia, tetapi juga berkiprah dalam membangun Indonesia yang merdeka dan mandiri.
Prinsip penduduk Koto Gadang “Bila Ingin Pandai Dan Mengetahui Kepandaian Bangsa Belanda, Maka Belajarlah Bahasa Dan Menuntut Ilmu Ke Negeri Belanda.”
Meskipun terdapat antipati umum terhadap sekolah-sekolah Belanda, Koto Gadang merupakan pengecualian penting dalam hal ini. Dalam memoarnya, Proklamator Mohammad Hatta menggambarkan kekagumannya atas keinginan masyarakat Koto Gadang terhadap anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan modern, khususnya di sekolah-sekolah Belanda.
Pelajar Indonesia yang diterima di sekolah Belanda sebagian besar berasal dari Koto Gadang dan sangat berdedikasi untuk bersekolah di Bukittinggi meskipun untuk itu mereka harus berjalan kaki melalui Ngarai Sianok yang kedalamannya mencapai seratus meter lebih. Masyarakat Koto Gadang sebagian besar terdiri dari tukang emas dan pegawai negeri kolonial yang telah melihat dunia luar Minangkabau. Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa yayasan pendidikan pertama di Minangkabau, Studiefonds Koto Gadang, didirikan di Koto Gadang, yang merupakan kesempatan besar bagi putra-putri Koto Gadang untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Hal itu juga terkait dengan budaya migrasi (merantau) di Minangkabau yang dilakukan oleh para pemuda di Koto Gadang. Banyak generasi muda yang merantau ke provinsi lain di Sumatera bahkan ke luar negeri, seperti Belanda. Mereka sangat berwawasan ke luar, namun pada saat yang sama, meskipun ada 'kedekatan' dengan Belanda, mereka tetap kukuh dalam memegang prinsip dan tujuan yakni 'Indonesia Merdeka'. Mereka terbukti berada di garda terdepan dalam perjuangan meraih kemerdekaan.
Seperti Roehana, mereka terbukti sangat sukses dalam pendekatan intelektual ini. Roehana adalah seorang aktivis pemberdayaan perempuan yang memiliki dua minat yaitu selain dalam dunia pendidikan juga dalam bidang jurnalisme dimana dialah perempuan Indonesia pertama yang menjadi Wartawan di Indonesia.
Sejak usia dini dia telah didorong oleh ayahnya. Di usia muda dia berbicara bahasa Belanda dan belajar huruf Arab, Latin dan Melayu. Dia belajar keterampilan seperti menjahit, merenda dan merajut dari seorang wanita Belanda yang saat itu merupakan kesempatan yang sangat langka dan terbatas bagi perempuan pribumi pada masa kolonial.
Pada tanggal 23 Februari 1911, Roehana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang, sebuah sekolah khusus untuk keterampilan perempuan seperti pengelolaan keuangan, membaca, menulis, pendidikan agama dan bahasa Belanda.
WARTAWATI PERTAMA INDONESIA
Saat tulisannya di surat kabar perempuan 'Poetri Hindia', dilarang dan koran tersebut dibredel oleh pemerintah kolonial Belanda, ia memulai surat kabar 'Soenting Melajoe' pada tahun 1912. Ini adalah surat kabar pertama yang pemimpin redaksi dan redaksinya adalah seorang Perempuan.
Surat-surat dalam ‘Soenting Melajoe’ ini dapat dianggap sebagai ekspresi nasionalisme feminin yang pertama kali dimunculkan dan disampaikan dalam hal kesadaran akan Indonesia merdeka, dan lebih dari itu yakni terkait dengan peningkatan visioner hak hak ekonomi, sosial dan politik perempuan. Hal ini tidak hanya merupakan hal yang revolusioner pada masa akhir pemerintahan kolonial di Indonesia, namun juga jika dibandingkan dengan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Di antara tulisan-tulisan Roehana Koeddoes dalam Soenting Melajoe yang berkaitan dengan pendidikan berkeadilan gender, kita bisa melihatnya dalam artikel berjudul 'Wanita Setia Masa Kini' (SM 23 MEI 1913), 'Pakaian Perhiasan' (SM 7 Agustus 1912), Wanita (SM 15 Desember 1918), 'Mencari Istri (19 Desember 1920) dan lainnya.
Dalam adat istiadat Minangkabau yang tertulis dalam Tambo, kedudukan perempuan di Minangkabau berawal dari Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar, Tanah Datar. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang ratu yang terkenal sangat cerdas dan bijaksana, bergelar Bundo Kanduang. Terdapat mitos bahwa kerajaan yang dipimpin oleh Bundo Kanduang sangat arif dan bijaksana. Ia membuat aturan untuk melindungi hak-hak perempuan yang dikenal dengan sistem perkawinan.
Selain itu, perempuan juga ditempatkan di bawah perlindungan dan pengaturan ninik mamak dari pihak ibu. Dari posisinya sebagai perempuan yang berasal dari masyarakat matrilineal, Roehana tidak hanya berjuang melawan patriarkalisme dan penindasan yang terjadi di masyarakat jaman kolonial, namun juga melawan patriarkalisme yang membekas pada masyarakat Indonesia. Meskipun faktanya seperti yang tertulis dalam Tambo, kekuasaan dan wewenang yang pada masa ini sering berada di tangan laki-laki, namun dikritik oleh Roehana saat itu.
Melalui majalah berita miliknya, 'Soenting Melajoe', ia antara lain mengkritisi fenomena poligami dan fakta bahwa pendidikan pada dasarnya hanya dapat diakses oleh anak laki-laki. Artinya, Roehana bahkan lebih unggul dari Hamka yang juga merupakan pengkritik otoritas laki-laki. Namun seperti Hamka, Roehana sudah memahami sejak awal bahwa kemiskinan dan ketergantungan finansial membuat perempuan menjadi sasaran empuk kekerasan selama masa kolonial.
"Teloek Bajoer laboehan kapal,
Belanda moedik bersekoetji,
Boenga lajoer keboenlah tinggal
Tiadalah koembang kembali lagi"
(Sumber Abdul Malik Karim Amrullah, gelar Hamka, dan dikutip oleh Jeffrey Hadler, 2008)
Dengan berdirinya Kerajinan Amai Setia, Roehana membuka kesempatan bagi perempuan untuk mempelajari berbagai hal dalam bidang perdagangan seperti bertenun dan berbagai hasil karya kerajinan lainnya untuk meningkatkan kedudukan sosial ekonomi perempuan. Konsep ini mendapat dukungan penuh dan menuai sukses luar biasa dikalangan perempuan Koto Gadang khususnya sehingga menjadi acuan dan dasar bagi industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, dan oleh karena itu, Nagari Koto Gadang dapat dianggap sebagai pusat bisnis Minangkabau.
Dengan demikian, Roehana adalah pencetus dan peletak dasar pertama bagi pendidikan dan perekonomian yang dapat diakses oleh kaum perempuan sehingga peluang mereka dalam menjalani kehidupan yang bermartabat semakin meningkat.
Ketika tekanan dan serangan penjajah kolonial terhadap penduduk semakin meningkat, Roehana membantu gerakan politik dengan menulis berbagai pamflet penggugah semangat. Selain itu, dia juga mendirikan dapur umum untuk para pejuang digaris depan maupun untuk para gerilyawan. Salah satu ide briliantnya untuk perjuangan adalah menyelundupkan senjata dari Koto Gadang ke Bukittinggi dengan cara menyembunyikannya di dalam buah-buahan dan sayur-sayuran yang kemudian dibawa dengan kereta api ke Payakumbuh.
Kemudian di Medan ia mengajar dan menjalankan surat kabar 'Perempuan Bergerak'. Sekembalinya ke Padang, ia antara lain menjadi editor di 'Radiokrant' dan 'Cahaya Sumatra’.
Pada Hari Pers Nasional tahun 1974 ia menerima penghargaan sebagai jurnalis perempuan Indonesia pertama dan pada Hari Pers Nasional tahun 1987 ia menerima penghargaan sebagai 'Pelopor pers Indonesia'. Pada tahun 2007 ia menerima penghargaan 'Bintang Jasa Utama'.
7 November 2019, pemerintah Indonesia menetapkan Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 120/TK/2019 yang diterima oleh cucunya, Juneidy sebagai ahli waris pada hari berikutnya. Dua tahun kemudian, dia dirayakan di Google Doodle.
REPRESENTASI DIDALAM PERS INDONESIA DAN BELANDA
Jadi, apakah memang benar dia adalah Wartawati Pertama Indonesia yang berasal dari Koto Gadang ?
Mengapa nama Roehana Koeddoes tidak begitu dikenal seperti nama Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang menjadi ikon mutlak landasan pendidikan modern dan sekolah-sekolah bagi anak perempuan di Pasundan pada tahun 1914 ?
Tampaknya kisah luar biasa Roehana Koeddoes kurang terekspos dan terwakili dalam berbagai surat kabar, jurnal, atau historiografi sejarah meskipun pencapaiannya luar biasa.
Akses terhadap sumber-sumber sejarah dan representasinya, seperti surat-surat sejarah Roehana, ditemukan relatif terlambat. Pasca Reformasi, minat dan komitmen terhadap penelitian lebih lanjut mengenai pahlawan Indonesia semakin meningkat. Fakta bahwa banyak sumber sejarah dari akhir zaman kolonial dan perang kemerdekaan juga terdapat di museum dan pustaka pustaka negeri Belanda adalah salah satu alasan mengapa banyak penelitian tertunda.
Kini setelah muncul generasi sejarawan baru di Belanda yang ingin menyelidiki masa lalu kolonial dan menyajikannya sebagaimana adanya, hal ini mendapatkan momentumnya.
Meningkatnya tekanan terhadap para sejarawan dan penyelidikan sejarah Belanda telah menghasilkan fakta bahwa Raja Belanda, Willem-Alexander, dan kemudian, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, telah meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kekerasan yang berlebihan dan struktural selama perang Kemerdekaan. Tapi bagaimana dengan kolonialisme yang berlangsung selama lebih kurang 300 tahun ?
Perjalanan untuk memetakan dan menyelidiki periode kolonialisme ini masih panjang. Untunglah saat ini banyak sejarawan Belanda dan Indonesia secara aktif bergandengan tangan dalam menggali sejarah bersama. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kesadaran untuk belajar dari masa lalu, terutama bagi masyarakat Belanda yang perjalanannya masih panjang.
Apa yang lebih indah selain jika kita belajar tentang sejarah bersama dengan orang-orang Indonesia sebagai guru kita ?
Semoga kita dapat terus menjalin hubungan yang harmonis serta bekerja sama dengan semangat Roehana sehingga mereka para pejuang khususnya pejuang pergerakan kaum perempuan benar benar mendapat tempat terhormat dihati segenap bangsa atas peran unik yang telah mereka mainkan untuk kemerdekaan Indonesia.
Duta Besar Belanda, Van Roijen, pernah berkata :
“luar biasa sekali Koto Gadang ini, disaat sebagian besar perempuan di Eropa dalam kegelapan, ternyata Koto Gadang sudah memiliki seorang wartawati.”(dikutip oleh Fitriyanti Dahlia, 2001)
* Penulis : Annechien Selimi – ten Brinke
Lahir di Doetinchem, Belanda. Annechien lulus MA Hukum Eropa & Internasional di Radboud University Nijmegen, Belanda, dan Magistra Legum Muenster, Jerman. Selain itu Annechien memegang gelar MA Sejarah Publik & Penelitian Sejarah, Universitas Northeastern London