Pada hari Senin, 4 Maret 2004, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Sekretariat Kabinet (Setkab), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dan Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Desa. Pada akhirnya, index desa yang terletak di Gedung Bappenas di Jakarta akan menjadi alat yang bermanfaat untuk menghitung biaya pembangunan desa.
Di Rapat Terbatas tanggal 11 Desember 2019 tentang Penyaluran Dana Desa Tahun 2020, dia menyatakan, "Presiden setuju dengan adanya Indeks Desa." Dalam pernyataannya selama pertemuan, Deputi Bidang PMK, Setkab, Yuli Harsono menyatakan bahwa tujuan dari instruksi ini adalah untuk mengidentifikasi semua indeks yang saat ini digunakan untuk mengurangi capaian pembangunan desa menjadi satu indeks.
Yuli mengatakan bahwa ada tiga index yang digunakan: the Index of Desa Construction, the Index of Desa Membangun, and the Index of Desa. Dia mengatakan bahwa karena menggunakan index-index ini, orang menjadi kurang hati-hati saat menulis undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan desa. Oleh karena itu, Setkab menyarankan agar lembaga atau kelompok yang terkait (K/L) menggunakan indeksasi tunggal.
Menurutnya, "Sekretaris Kabinet telah menyampaikan Surat Momor B.0308/Seskab/PMK/06/2023 kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada tanggal 23 Juni 2023 mengenai penggunaan Indeks Desa untuk mengukur Status Kemajuan dan Kemandirian Desa, yang pada intinya memungkinkan Bapak Menteri Koordinator untuk mengoordinasikan kembali penyelesaian Indeks Desa."
Menurut Yuli, peluncuran indeks ini juga sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, yang berarti K/L dan pemerintah daerah (pemda) harus berkonsentrasi untuk mencapai tujuan Indonesia Satu Data.
Yuli juga setuju bahwa Desa Index dapat digunakan sebagai satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan desa. K/L dan pemda dapat berbagi persepsi yang sama saat membuat undang-undang untuk memberikan pemerintahan yang lebih konsisten dan stabil.
Seluruh kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa harus berkomitmen untuk mengaplikasikannya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pembangunan desa, termasuk dalam pengalokasian Dana Desa, katanya.
Menurut Teni Widuriyanti, Sekretaris Kementerian PPN dan Sekretaris Utama Bappenas, Desa Index menghambat kemajuan desa dalam berbagai aspek, termasuk dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola pemerintahan desa.
Teni menyatakan bahwa dimensi dan indikator Indeks Desa didasarkan pada standar statistik, sehingga mereka dapat diintegrasikan dengan cepat ke data nasional Indonesia sambil mengikuti prinsip pertukaran format data dan interoperabilitas.
Teni telah menjelaskan bahwa Indeks Desa dapat berfungsi sebagai alat utama untuk menilai rencana pembangunan desa di berbagai dokumen perencanaan pada tingkat lokal, regional, dan desa. Hasil dari analisis dampak akan digunakan secara resmi pada tahun 2025, dan basis untuk revisi data Indeks akan berasal dari data yang dikumpulkan oleh Komite Desa PDTT dari bulan April hingga Juni 2024.
Untuk lebih lanjut, Teni menekankan pentingnya bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menilai Desa Index dan menjamin kualitas proyek pembangunan regional.
Teni menyatakan, "Denpasar desa harus bersama dan selaras bersama dan maju bersama dengan kota. Desa harus lintas sektor dan lintas aktor, menuju kemandirian desa."
Dengan penerapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, yang menekankan pentingnya menyelesaikan ketimpangan untuk mencapai tujuan ekonomi Indonesia yang paling penting pada tahun 2045, yaitu menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan productivity, Indeks Desa telah berkembang menjadi indikator yang digunakan secara luas untuk menunjukkan pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan desa. Perdesaan kemiskinan pada tahun 2023 mencapai 12,22%, dan perkotaan kemiskinan sekitar 7,29%, menurut BPS.
Teni menyatakan bahwa arti ketimpangan tidak hanya terbatas pada perbedaan antara wilayah timur dan barat Indonesia; itu juga mencakup perbedaan antara kota dan pedesaan, serta perbedaan antara kelompok pendapatan. (*)