ZONAMERDEKA.COM - Postingan poster film "Lemah Santet Banyuwangi" mendadak hilang dari akun instagram MD Picture Official (https://www.instagram.com/mdpictures_official). Selain itu tidak ada keterangan terkair alasan penghapusan postingan tersebut.
Sebelumnya, film "Lemah Santet Banyuwangi" dijadwalkan akan tayang di bioskop mulai tanggal 8 Mei 2025.
Protes Keras oleh Masyarakat Banyuwangi
Film Lemah Santet Banyuwangi dinilai bisa menimbulkan stigma negatif tentang Banyuwangi. Film yang mengambil setting tahun 1998 itu dinilai mengorek duka lama bagi masyarakat Banyuwangi.
Suara penolakan pun dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi bersama Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Banyuwangi, serta tokoh budaya dan masyarakat setempat sepakat untuk menolak serta memprotes keras film tersebut.
Keputusan ini diambil dalam sebuah rapat gabungan yang digelar di Lounge Kantor Disbudpar Banyuwangi pada 6 Maret 2025. Dalam rapat tersebut, berbagai pihak menyampaikan pandangan, masukan, serta kajian mendalam terkait dampak film tersebut terhadap citra Banyuwangi.
Ketua PARFI Banyuwangi, Denny Sun’anudin, menjadi yang pertama menyampaikan pendapatnya. Ia menilai film Lemah Santet Banyuwangi sebagai bentuk penyalahgunaan kebebasan berkarya karena mengabaikan nilai moral dan etika.
"Film ini sangat tendensius, hanya menjadikan Banyuwangi sebagai objek eksploitasi demi kepentingan bisnis industri film. Ini jelas tidak bisa dibiarkan. Kita harus mengambil sikap tegas dengan memprotes dan menindaklanjutinya," tegas Denny dengan nada geram.
Menurutnya, permasalahan utama dalam film ini adalah pencatutan nama Banyuwangi dengan alasan mengadaptasi tragedi pembantaian dukun pada tahun 1998. Padahal, faktanya peristiwa tersebut lebih kompleks dan juga banyak melibatkan korban yang merupakan guru ngaji.
"Seni perfilman seharusnya menyajikan hiburan berkualitas dan memberikan pesan edukatif, bukan justru merusak citra budaya lokal yang telah dijaga dengan baik oleh masyarakat. Istilah ‘santet’ dalam konteks Banyuwangi sebenarnya lebih berkaitan dengan mahabbah atau ilmu pengasihan yang mengajarkan cinta dan kasih sayang," jelas Denny.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan, Hasan Basri, juga menyampaikan keberatannya terhadap penggunaan nama Banyuwangi dalam judul film tersebut.
"Mengapa harus Banyuwangi yang dijadikan sorotan? Padahal istilah ‘santet’ juga dikenal di berbagai daerah lain. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada maksud tertentu yang tidak baik di balik pembuatan film ini," ujar Hasan penuh tanda tanya.
Sementara itu, Kepala Disbudpar Banyuwangi, Taufik Rohman, menyatakan bahwa pihaknya telah mencatat berbagai saran dan pendapat dari rapat tersebut. Hasilnya, forum sepakat untuk mengajukan protes resmi ke Lembaga Sensor Film (LSF) di Jakarta agar izin edar film tersebut dibatalkan.
"Kami akan segera mengirim surat keberatan kepada LSF agar film ini tidak lolos sensor dan tidak tayang di bioskop. Tembusannya juga akan kami sampaikan kepada MD Pictures, Menteri Kominfo, Menteri Kebudayaan, serta pihak-pihak terkait lainnya," pungkas Taufik.***